Sabtu, 13 November 2010

KOMPONEN DARAH DAN PENGAMATAN KALSIUM OKSALAT

HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Analisa Prosedur
Probandus yang digunakan dalam praktikum “Komponen Darah dan Pengamatan Kalsium Oksalat” adalah mencit (mus musculus), hal ini digunakan karena mencit merupakan hewan yang biasanya digunakan dalam penelitian-penelitian ilmiah, dan juga hewan ini lebih cepat dalam memberikan respon dari perlakuan yang diberikan. Mencit (mus musculus) juga karena demi menjaga suatu keamanan, karena pada umumnya untuk menguji toksisitas biasanya digunakan mencit sebagai hewan uji. Menurut Acker (1971) bahwasanya untuk mempelajari toksisitas dan keamanan biasanya pertama kali dilakukan pada hewan percobaan, terutama tikus dan mencit. Mencit terkadang ditemukan sebagai hewan peliharaan, namun, sebagian besar tikus diperoleh dari peternak hewan laboratorium untuk digunakan dalam penelitian biomedis, pengujian, dan pendidikan. Bahkan, tujuh puluh persen dari semua hewan yang digunakan dalam kegiatan biomedis adalah mencit (Acker, 1971).

Gambar 1. Mencit (mus musculus) (Isroi, 2010).

Bahan yang digunakan dalam pengontrolan komponen darah dan adanya kalsium oksalat adalah dengan bayam yang dikenal mengandung kalsium oksalat, bayam tersebut dihaluskan dan ditambahkan air sebanyak 8 ml, dan distrirer selama 3 menit agar homogen. Kemudian diambil 0,8 ml dengan mikropipet untuk disondekan ke mencit. Namun pengambilan bayam dilakukan dengan menggunakan rumus dibawah ini:

Gram bayam 1 kg BB
(Berat badan) = dosis bayam mg/kg BB
------------------------------x0,1 gram= A
Kandungan zat besi dalam
100 mg bayam
Misalnya berat mencit = B, maka gram bayam untuk per B (gr) adalah sebagai berikut:
Gram bayam untuk per B (gr)= B
---------------------x A
1000

Menurut Bruneton (1999), bahwasanya Kalsium oksalat atau asam oksalat dalam bayam tidak terdapat dalam keadaan bebas, akan tetapi terdapat dalam bentuk senyawa. Kalsium oksalat merupakan asam dikarboksilat yang hanya terdiri dari dua atom C pada masing-masing molekul, sehingga dua gugus karboksilat berada berdampingan, hal ini karena letak gugus karboksilat terletak berdekatan, kalsim oksalat mempunyai konstanta dissosiasi yang lebih besar daripada asam-asam organik lain, dimana besarnya konstanta disosiasi (K1) = 6,24.10 -2 dan K2 = 6,1.10-5). Kalsium oksalat dalam keadaan murni akan berupa senyawa kristal, senyawa ini larut dalam air (8% pada 10o C) dan larut dalam alkohol. kalsium oksalat membentuk garam netral dengan logam alkali (NaK), yang larut dalam air (5-25 %), sementara itu dengan logam dari alkali tanah, termasuk Mg atau dengan logam berat, yang mana mempunyai kelarutan yang sangat kecil dalam air, sehingga dapat disimpulkan bahwasanya kalsium oksalat tidak larut dalam air (Bruneton, 1999).

A. 1. Pengambilan Darah dari Jantung
Fungsi dari mencit (mus musculus) yang dinarkose dengan kloroform adalah agar mencit pinsan, karena fungsi dari kloroform tersebut adalah untuk membius hewan uji. Menurut Chu (1992), bahwasanya kloroform merupakan nama umum dari triklorometana (CHCl3). Kloroform sering digunakan sebagai bahan bius, meskipun pada umumnya digunakan sebagai pelarut non-polar di laboratorium atau industri karena relative tidak reaktif, dimana wujud dari kloroform ini adalah berupa cairan pada suhu ruang, namun mudah menguap. Mekanisme kloroform sebagai bahan bius adalah uap kloroform akan menekan kerja sistem saraf pusat dari pasien, dan juga meningkatkan pergerakan ion kalium melalui beberapa jenis saluran kalium dalam sel saraf (Chu, 1992).
Fungsi dari mencit yang dibedah adalah untuk diambil darah mencit tersebut dari jantung dengan syring bagian runcing dibawah. Fungsi dari penggunaan syringe dengan bagian yang runcing dibawah adalah untuk mendapatkan darah mencit, fungsi dari bagian yang runcing dibawah adalah agar darah langsung masuk ke dalam syringe. Fungsi dari darah yang dimasukkan tabung vakutainer yang ditambahkan dengan K2 EDTA adalah untuk menampung darah, dimana K2 EDTA berfungsi menjaga darah agar tidak terjadi pembekuan darah.

Gambar 2. Syring (Ananto, 2010).
Tabung vakutainer merupakan tabung yang mana didalamnya terdapat zat K2 EDTA 5.4 mg yang mana zat ini merupakan zat koagulan, sehingga tabung ini digunakan sebagai tempat menyimpan darah karena mengandung antikoagulan, sehingga darah yang disimpan tidak mengalami aglutinasi. Peletakan tabung vakutainer diletakkan miring, hal ini dilakukan agar darah yang tidak memenuhi seluruh volume tabung, tidak akan menggumpal. Tabung ini memiliki tekanan udara dalam tabung negatif, lebih rendah dari lingkungan normal. Tabung vakutainer tersedia dalam berbagai ukuran dan warna. Salah satunya adalah tabung dengan tutup berwarna ungu, dimana jenis tabung vakutainer tersebut mengandung EDTA dalam bentuk liquid (Kotrla, 2009).

Gambar 3. Tabung Vacutainer (Kotrla, 2009).

A. 2 Perhitungan Leukosit
Fungsi dari pengambilan darah sebanyak 50 µl dan dimasukkan dalam cawan petri adalah sebagai sampel. Penambahan larutan hayem berfungsi sebagai pengencer darah. Fungsi dari homogenasi adalah agar terjadi homogenasi antara larutan hayem dan darah. Menurut Murbawani (2006), bahwasanya larutan hayem merupakan suatu larutan yang dibuat dari campuran senyawa natrium sulfat (berair kristal) sebanyak 5g, natrium klorida sebanyak 1g, merkuri klorida sebanyak 0,5g dan ditambahkan air hingga volumenya menjadi 200 ml. Larutan tersebut disaring terlebih dahulu sebelum dipakai dalam mengencerkan darah dalam pipet eritrosit, yang kemudian dimasukkan ke dalam kamar hitung haemocytometer . Jumlah sel darah merah dihitung dalam volume tertentu dengan menggunakan faktor konversi. Sebagai larutan pengencer digunakanlah larutan hayem tersebut (Murbawani, 2006).
Fungsi dari penggunaan haemocytometer dalam praktikum ini adalah untuk menghitung dan mengamati jumlah eritrosit, yang tentunya dengan menggunakan mikroskop. Menurut Hadioetomo (1993), bahwasanya haemocytometer dapat digunakan sebagai alat dalam perhitungan jumlah sel. Selain itu, terdapat berbagai macam cara untuk menghitung jumlah sel antara lain, perhitungan dalam cawan (plate count), perhitungan langsung dibawah mikroskop (direct microscopic count), atau perhitungan dengan bantuan alat yang disebut penghitung Coulter (Coulter counter). Metode perhitungan langsung dibawah mikroskop dilakukan dengan sampel diletakkan di dalam suatu ruang hitung (seperti haemocytometer) dan jumlah sel dapat ditentukan langsung dengan bantuan mikroskop (Hadioetomo, 1993).

Gambar 4. Perhitungan sel dengan haemocytometer (Ruf, 2010).

Gambar 5. Penghitungan Jumlah Sel dengan haemositometer (Rapidmethods, 2000).

Metode lain dalam perhitungan sel selain dengan menggunakan haemositometer adalah dengan menggunakan Kamar hitung Fuchs Rosenthal, sehingga lebih teliti karena memiliki volume yang lebih besar. Apabila cairan berupa purulen, menghitung jumlah lekosit metode ini tidak berpengaruh dalam perhitungan, sehingga sebaiknya jika menggunakan metode ini maka hal tersebut hanya dapat dilakukan dengan cairan yang jernih atau yang agak keruh saja. Cairan yang agak keruh, diencerkan dengan pengenceran yang sesuai, dimana pada umumnya bahan pengencer yang digunakan adalah larutan NaCl 0,9 %, dan bukan larutan turk, karena larutan turk dapat menyebabkan terbentuknya pembekuan dalam. Cairan yang berupa transudat umumnya mengandung kurang dari 500 sel/µl. Prinsip kerja perhitungan dengan menggunakan kamar hitung Fuchs Rosenthal adalah jumlah sel lekosit dihitung berdasarkan pengenceran dalam larutan pengencer dan jumlah sel dalam cairan dalam kamar hitung (Rapidmethods, 2000).
Gambar 6. Fuchs Rosenthal (Dynamicaqua, 2010).

A. 3 Perhitungan Leukosit
Fungsi dari pengambilan darah sebanyak 50 µl dan dimasukkan dalam cawan petri adalah sebagai sampel. Penambahan larutan turk berfungsi sebagai pengencer darah. Fungsi dari homogenasi adalah agar terjadi homogenasi antara larutan turk dan darah. Menurut Murbawani (2006), bahwasanya larutan turk merupakan larutan yang digunakan dalam mengencerkan darah dalam pipet leukosit, yang kemudian dimasukkan kedalam kamar hitung haemocytometer . Jumlah sel darah putih dihitung dalam volume tertentu dengan menggunakan faktor konversi (Murbawani, 2006). Haemocytometer dapat digunakan sebagai alat dalam perhitungan jumlah sel. Selain itu, terdapat berbagai macam cara untuk menghitung jumlah sel antara lain, perhitungan dalam cawan (plate count), perhitungan langsung dibawah mikroskop (direct microscopic count), atau perhitungan dengan bantuan alat yang disebut penghitung Coulter (Coulter counter). Metode perhitungan langsung dibawah mikroskop dilakukan dengan sampel diletakkan di dalam suatu ruang hitung (seperti haemocytometer) dan jumlah sel dapat ditentukan langsung dengan bantuan mikroskop (Hadioetomo, 1993).

A. 4 Metode Sahli (Hb)
Fungsi dari pengambilan 5 tetes HCl 0,1 N adalah untuk melisiskan sel yang akan diamati hemoglobinnya. Darah sebanyak 0,02 ml yang ditambahkan pada larutan HCl adalah berfungsi sebagai sampel. Fungsi dari penambahan aquades secara perlahan adalah untuk mengencerkan larutan HCl dan darah. Fungsi dari pengadukan hingga warna menjadi sama dengan standar adalah untuk homogenasi antara HCl dan darah.
Metode sahli merupakan salah satu metode dalam penetapan hemoglobin secara visual, dimana darah diencerkan dengan larutan HCl sehingga hemoglobin akan berubah menjadi hematin asam. Penentuan kadar hemoglobin dilakukan dengan mengencerkan larutan campuran tersebut dengan aquades hingga warnanya sama dengan warna batang gelas standar. Metode sahli pada umumnya tidak dianjurkan karena mempunyai tingkat kesalahan yang relatif besar, alat ini tidak dapat distandarisasi, dan tidak semua jenis hemoglobin dapat ditetapkan sebagai contoh karboksihemoglobin, methemoglobin, dan sulfahemoglobin (Elert, G.H. 2006).
Metode lain yang digunakan dalam penentuan kadar hemoglobin adalah dengan beberapa metode, antara lain: metode oksihemoglobin, atau metode sianmethemoglobin. Metode yang dapat diterima dalam hemoglobinometri klinik adalah oksihemoglobin, dan sianmethemoglobin, dimana keduanya merupakan cara spektrofotometrik. Metode oksihemoglobin hanya mengukur semua hemoglobin yang dapat diubah menjadi oksihemoglobin, sedang karboksihemoglobin dan senyawa hemoglobin yang lain tidak terukur. Metode oksihemoglobin merupakan metode yang paling sederhana dan tercepat dalam fotometri, namun keterandalan tidak dipengaruhi oleh kenaikan bilirubin plasma, sehingga kerugian dari metode ini adalah tidak stabilnya standar oksihemoglobin. Metode sianmethemoglobin memiliki prinsip kerja dimana ferrosianida akan mengubah besi pada Hb dari bentuk ferro ke bentuk ferri menjadi methemoglobin yang kemudian bereaksi dengan KCN membentuk pigmen yang stabil yaitu sianmethemoglobin (Elert, G.H. 2006).

A. 5 Perhitungan Kalsium Oksalat
Dislokasi dilakukan untuk membunuh mencit tanpa merusak organ, dan pembedahan dilakukan untuk pengambilan organ hepar dan ginjal. Hepar dan ginjal dicuci sebanyak 3 kali dalam cawan yang berisi PBS, hal ini untuk membersihkan darah dan lemak yang menempel pada organ. Pengekstrakan hepar dan ginjal digunakan dalam pembuatan preparat, sehingga mudah diamati. Hasil dari ekstrakan tersebut diletakkan pada gelas obyek dan dihomogenasi dengan pangkal spuit. Fungsi dari homogenasi adalah untuk memperoleh ekstrak hepar dan ginjal. Setelah ditutup dengan gelas penutup, preparat tersebut diamati dengan perbesaran 400X. Menurut Axelsen (1983), bahwasanya, PBS merupakan pelarut yang bersifat isotonik dan tidak beracun bagi sel. Penggunaan PBS sebagai pelarut dalam koleksi oosit karena PBS tidak beracun, menjaga stabilitas pH, isotonik terhadap keadaan tubuh hewan, sehingga menjaga kualitas organ hewan. Komposisi PBS (Phosphat Buffer Saline) antara lain adalah NaCl 13,7 mM (8 g), KCl 2,7 mM (0,2 g), Na2HPO4 x 2H2O 8 mM (1,42 g), dan Aquades ad 1000 ml (Axelsen, 1983).

A. Analisa Hasil
Tabel 1. Hasil pengamatan pengaruh pemberian ekstrak bayam terhadap komponen darah
No Dosis Bayam (%gram) ∑ Eritrosit (%gram) ∑ Leukosit Hb (%gram)
1 kontrol 2,01x109 2,4x107 10,2
2 H35 mg/ kg BB 7,9x108 9x106 13,4
3 M35 1,03x1010 4,6x106 21,8
4 H40 1,6x109 1,7x107 16
5 M40 1,35x109 2,8x107 19,6

Keterangan:
• H35 = Bayam hijau dengan dosis 35
• H40 = Bayam hijau dengan dosis 40
• M35 = Bayam merah dengan dosis 35
• M40 = Bayam merah dengan dosis 40
• BB = Berat badan
Berdasarkan hasil pengamatan yang tertera pada tabel tersebut, bahwasanya dengan pemberian ekstrak bayam hijau dengan dosis 35, jumlah eritrosit, leukosit, mengalami penurunan, sedangkan jumlah Hb mengalami peningkatan dari jumlah normalnya yang ditunjukkan dengan mencit kontrol. Pemberian ekstrak bayam hijau 40 menunjukkan adanya penurunan jumlah eritrosit dan leukosit, sedangkan jumlah Hb meningkat jika dibandingkan dengan mencit kontrol.Pemberian ekstrak bayam merah dengan dosis 35 menunjukkan adanya kenaikan pada jumlah eritrosit dan Hb, sedangkan jumlah leukosit menunjukkan penurunan jika dibandingkan dengan kontrol. Pemberian ekstrak bayam merah dengan dosis 40, menunjukkan adanya penurunan pada jumlah eritrosit dan leukosit, sedangkan jumlah Hb mengalami kenaikan, bila dibandingkan dengan mencit kontrol.
Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil dari praktikum yang telah dilakukan beberapa minggu yang lalu adalah, pemberian ekstrak bayam yang berbeda pada setiap mencit, karena faktanya terkadang mencit tidak memakan ekstrak bayam yang disondekan, namun terkadang bekstrak bayam tersebut akan dimuntahkan, hal ini akan berpengaruh besar terhadap tingginya rendahnya kadar besi dalam darah akibat ekstrak bayam yang dikonsumsi secara kontinyu, sehingga hal tersebut akan berpengaruh pada jumlah masing-masing komponen darah yang akan diamati. Faktor lain selain faktor tersebut adalah karena praktikan kurang memahami langkah demi langkah dalam praktikum ini, sehingga tidak menutup kemungkinan bayam yang disondekan tidak sesuai dengan berat badan dari mencit yang akan disonde, dan praktikan juga kurang faham mengenai teknis penyondean yang baik, sehingga hal tersebut adalah pengaruh besar dalam hasil yang diperoleh.
Jumlah sel-sel leukosit normal dalam satuan perliter darah atau per satu mmk darah adalah 4000 - 11000 / mmk, dimana perhitungan jenis leukosit hanya menunjukkan jumlah relatif dari masing-masing jenis sel, sedangkan dalam mendapatkan jumlah absolut dari masing-masing jenis sel maka nilai relatif (%) dikalikan jumlah leukosit total (sel/µl). Jumlah leukosit akan berbeda-beda, hal ini tergantung pada umur, dimana pada anak limfosit lebih banyak dari netrofil segmen, sedangkan pada orang dewasa limfosit lebih sedikit dibandingkan dari netrofil segmen. Jumlah eritrosit normal pada manusia dewasa umumnya mencapai 5.000.000. Konsentrasi sel-sel darah merah dalam darah pada laki-laki normal 4,6-6,2 juta/mm3, sedangkan pada perempuan 4,2-5,4 juta/mm3, dan pada anak-anak 4,5-5,1 juta/mm3 (Elert, G.H. 2006).
Senyawa yang dikandung dalam bayam selain zat besi antara lain adalah vitamin-A, vitamin-C, vitamin-K, dan vitamin-B6, bayam suga mengandung zat aktif seperti amaratin, rutin, spinasterol, hentriakontan, tanin, kalium nitrat, kalsium oksalat, piridoksin, garam fosfat. Zat besi yang berupa Fe2+ (ferro), sehingga apabila Fe2+ apabila terlalu tinggi dalam berpaparan langsung dengan oksigen Fe2+ akan teroksidasi menjadi Fe3+ (ferri), dimana yang dapat dimanfaatkan pada umumnya adalah ferro, sedangkan ferri pada bayam bersifat toxid. Selain itu, bayam juga mengandung zat nitrat (NO3), yang mana jika teroksidasi dengan udara, maka akan menjadi NO2 (Nitrit). Nitrit adalah senyawa yang tidak berwarna, tidak berbau dan bersifat racun bagi tubuh manusia. Efek senyawa yang beracun dapat meracuni tubuh yang ditimbulkan oleh Nitrit, yang mana hal ini bermula dari reaksi oksidasi Nitrit dengan zat besi dalam sel darah merah, tepatnya di dalam Hemoglobin (Hb). Ikatan Nitrit dengan hemoglobin, disebut Methemoglobin, yang mengakibatkan hemoglobin tidak mampu mengikat oksigen. Jika jumlah methemoglobin mencapai lebih dari 15% dari total hemoglobin, maka akan terjadi keadaan yang disebut Sianosis, yaitu suatu keadaan dimana seluruh jaringan tubuh manusia kekurangan oksigen. Bayam merah mengandung zat besi yang tinggi dibandingkan bayam hijau, sehingga berfungsi menambah darah. (Elert, G.H. 2006).
Fungsi darah adalah sebagai media transportasi, dimana darah akan membawa zat-zat makanan dari saluran pencernaan ke jaringan tubuh, membawa oksigen dari paru-paru dan membawa sekresi kelenjar endokrin ke seluruh tubuh serta sebagai pertahanan melawan mikroba. Untuk mengetahui nilai hematologik dari seseorang dapat dilakukan dengan mengetahui jumlah eritrosit, kadar hemoglobin dan nilai hematokritnya, dimana eritrosit pada mammalia mempunyai inti dan berukuran lebih besar, jika dibandingkan dengan unggas. Eritrosit tersusun atas beberapa komponen, antara lain: 60 persen air dan 40 persen konjungsi protein yang membentuk protein dan heme. Jumlah eritrosit akan berbeda-beda antara individu yang satu dengan yang lain, hal ini dikarenakan dipengaruhi oleh bangsa atau jenis, kondisi nutrisi, aktivitas fisik, kondisi tubuh, jenis kelamin, umur, musim, dan temperatur lingkungan. Jumlah eritrosit akan konstan jika pada lingkungan yang relatif normal, karena eritropoesis yang terjadi akan seimbang dengan destruksi eritrosit (Depkes RI, 1996).
Proses eritropoesis dimulai dari sel induk multipotensial, dimana dari beberapa sel induk multipotensial terbentuk sel-sel yang dikenal dengan eritropoesis. Sel induk unipotensial yang membentuk eritrosit termuda yang dapat diidentifikasi secara morfologis dengan menggunakan pewarnaan sitokimia adalah sel proeritroblas. Zat besi yang terkandung dalam tubuh terdiri dari dua bagian, yaitu yang bersifat fungsional dan yang bersifat reserve (simpanan). Zat besi yang fungsional sebagian besar dalam bentuk Hemoglobin (Hb), dan sebagian kecil dalam bentuk myoglobin. Zat besi yang ada dalam bentuk reserve tidak mempunyai fungsi fisiologi selain sebagai buffer yaitu menyediakan zat besi apabila dibutuhkan dalam kompartmen fungsional. Apabila zat besi cukup dalam bentuk simpanan, maka kebutuhan eritropoiesis (pembentukan sel darah merah) dalam sumsum tulang akan selalu terpenuhi, dimana dalam keadaan normal, jumlah zat besi dalam bentuk reserve ini adalah kurang lebih seperempat dari total zat besi yang ada dalam tubuh,yang mana zat besi yang disimpan sebagai reserve ini, berbentuk feritin dan hemosiderin, yang terdapat dalam hati, limpa, dan sumsum tulang (Pudjiadi, 1993).
Hemoglobin merupakan suatu pigmen eritrosit yang terdiri dari protein kompleks terkonjugasi dan mengandung besi. Proteinnya adalah globin, dimana globin merupakan suatu histon, hemoglobin berwarna merah disebabkan oleh adanya suatu heme, yaitu suatu senyawa metalik yang mengandung satu atom besi. Hemoglobin terdapat dalam eritrosit dan merupakan 90 persen dari berat kering eritrosit. Hemoglobin berfungsi sebagai pigmen respirasi darah dan sebagai sistem bufer dalam darah, yang erat kaitannya dengan kemampuan darah membawa oksigen (Pudjiadi, 1993).
Kebutuhan zat besi pada masing-masing individu akan mengalami perbedaan, faktor utama yang membedakan adalah karena umur. Bayi, ataupun anak-anak yang mengalami masa pertumbuhan memerlukan jumlah zat besi yang lebih banyak. Kebutuhan zat besi relatif lebih tinggi pada bayi dan anak dibandingkan pada orang dewasa apabila dihitung berdasarkan per kg berat badan. Bayi yang berumur dibawah 1 tahun, dan anak yang berumur 6 sampai 16 tahun membutuhkan jumlah zat besi sama banyaknya dengan laki – laki dewasa. Tetapi berat badannya dan kebutuhan energi lebih rendah dibandingkan laki – laki dewasa (Depkes RI, 1996).
Penyakit yang berhubungan karena darah misalnya anemia, hemophilia, hipertensi, hipotensi, varises, penyakit kuning pada bayi, sklerosis, miokarditis, thrombus, dan leukemia. Anemia merupakan suatu kondisi di mana tubuh kekurangan darah akibat kurangnya kandungan hemoglobin dalam darah. Akibatnya tubuh akan kekurangan oksigen dan lemas karena pada dasarnya, hemoglobin bertugas mengikat oksigen untuk disebarkan ke seluruh badan. Anemia sering ditemukan pada seseorang yang kekurangan zat besi, selain itu, anemia juga dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain faktor sosial ekonomi, pendidikan, status gizi dan pola makan, fasilitas kesehatan, pertumbuhan, daya tahan tubuh serta infeksi. Faktor- faktor tersebut saling berkaitan. Hemofilia merupakan suatu penyakit atau kelainan pada darah yang sukar membeku jika terjadi luka. Hipertensi merupakan kondisi ketika tekanan darah tinggi yang diakibatkan oleh adanya penyempitan pembuluh darah dengan sistolis sekitar 140-200 mmHg serta tekanan diastolisis kurang lebih antara 90-110 mmHg. Hipotensi merupakan kondisi ketika tekanan darah rendah dengan tekanan sistolis di bawah 100 mmHg. Varises merupakan terjadinya pelebaran pada pembuluh vena yang membuat pembuluh dasar membesar dan terlihat secara kasat mata yang umumnya terdapat pada bagian lipatan betis. Penyakit kuning pada bayi merupakan suatu kelainan akibat adanya gangguan kerusakan sel-sel darah oleh aglutinin sang ibu. Sklerosis merupakan kelainan pada pembuluh nadi sistem transportasi yang mengalami pengerasan. Miokarditis merupakan kelainan akibat terjadinya radang pada otot jantung. Trombus merupakan kelainan yang terdapat pada jantung yang mana kelainan ini disebabkan oleh adanya gumpalan di dalam nadi tajuk. Leukimia merupakan penyakit yang mengakibatkan produksi sel darah putih tidak terkontrol pada sistem transportasi (Depkes RI, 1996).
Racun merupakan suatu zat atau senyawa yang mana ketika masuk ke dalam tubuh akan menghambat respons pada sistem biologis sehingga dapat menyebabkan gangguan kesehatan,penyakit, bahkan kematian. Umumnya berbagai bahan kimia yang mempunyai sifat berbahaya atau bersifat racun, telah diketahui. Namun, tidak demikian halnya dengan beberapa jenis hewan dan tumbuhan, termasuk beberapa jenis tanaman pangan yang ternyata dapat mengandung racun alami, walaupun dengan kadar yang sangat rendah, misalnya bayam (Depkes RI, 1996).
Bayam mengandung asam oksalat, asam oksalat dapat mengikat nutrien yang penting bagi tubuh, sehingga konsumsi makanan yang banyak mengandung asam oksalat dalam jumlah besar dapat mengakibatkan defisiensi nutrien, terutama kalsium. Asam oksalat merupakan asam kuat sehingga dapat mengiritasi saluran pencernaan, terutama lambung. Asam oksalat dapat menyebabkan batu ginjal, sehingga konsumsi makanan yang mengandung senyawa tersebut dianjurkan secukupnya (Depkes RI, 1996).
Berdasarkan pengamatan minggu lalu, bahwasanya berat badan mencit yang diberikan perlakuan larutan daun bayam menunjukkan penurunan berat badan, hal tersebut dimungkinkan karena stres yang dialami oleh mencit tersebut akibat perlakuan-perlakuan yang diberikan. Hal ini tidak terbukti dengan literatur, karena Dalimartha (2003), menyatakan bahwasanya, infus daun bayam merah sebanyak 30% per oral dapat meningkatkan berat badan, kadar besi serum, haemoglobin dan hematokrit, dimana peningkatan tersebut tidak berbeda jika dibandingkan dengan kelompok kelinci yang diberi sulfas ferosus, yang mana sebagai pembanding, digunakan air suling (Dalimartha, 2003).
Tabel 2. Perhitungan Kalsium Oksalat
Perlakuan Organ ∑ CaoX Bentuk
Kontrol Hepar 0 -
Ginjal 0 -
35 mg/kg BB Hijau Hepar 1 Rafida
Ginjal 6 Bintang, Prisma, Drusen
40 mg/kg BB merah Hepar 1 Prisma
Ginjal 1 Prisma
35 mg/kg BB merah Hepar 3 Prisma, jarum
Ginjal 0 -
40 mg/kg BB hijau Hepar 0 -
Ginjal 5 Bintang

Berdasarkan data tersebut bentuk kalsium oksalat pada ginjal dan hepar probandus, dapat diketahui bahwasanya kalsium oksalat berbentuk prisma dominan diseluruh organ mencit yang diamati. Kalsium oksalat pada ginjal dengan perlakuan bayam hijau memiliki jumlah kalsium oksalat yang ditemukan lebih banyak jika dibandingkan dengan yang lain. Kalsium oksalat tidak terdapat pada kontrol, dan pada perlakuan 35 mg/kg BB merah dan 40 mg/kg BB hijau. Larutan bayam yang disondekan ke dalam mencit secara oral mengandung zat besi yang tinggi, dan zat besi tersebut dalam tubuh akan diikat oleh kalsium oksalat, sehingga ketika zat besi tinggi akan menyebabkan produksi kalsium oksalat tinggi dan menyebabkan penumpukan kalsium oksalat pada organ-organ filtrasi misalnya ginjal dan hati. Dosis, dapat menyebabkan kefatalan jika tidak dikontrol, yang mana dosis letal umumnya berkisar antara 10 dan 15 gram perkilogram berat badan (Noor, 1992).
Bentuk dan distribusi kristal kalsium oksalat umumnya sama dalam taksa yang sama dan berbeda di antara taksa yang berbeda untuk menunjukkan bahwa kristal-kristal tersebut dapat digunakan sebagai karakter kunci dalam sistematika. Kristal oksalat yang sering dijumpai adalah berbentuk roset seperti pada daun pepaya, bayam, kangkung, singkong, belinjo, ketela ramabat, kelor, katu, kenikir, dan kristal bentuk prisma terdapat pada lembayung dan selada. Kristal kalsium oksalat berbentuk jarum umumnya terdapat pada Sawi putih dan sawi hijau yang tidak mengandung kristal kalsium oksalat. Kerapatan yang paling tinggi ditemukan pada daun pepaya (Webb, 1999).
Kalsium oksalat yang ditemukan di dalam hati menunjukkan adanya zat besi yang berikatan dengan kalsium, sehingga di dalam hati terdapat sel-sel yang merombak sel darah merah yang telah tua yang disebut dengan histiosit. Zat warna empedu terbentuk dari rombakan eritrosit yang telah tua atau rusak akan ditangkap histiosit, yang mana selanjutnya akan dirombak dan haeglobinnya akan dilepas. Jika kadar zat besi dalam tubuh akan meningkat, akan memicu terbentuknya kristal oksalat yang dapat mengakibatkan penyumbatan aliran darah dan terganggunya fungsi hati (Noor, 1992).

Gambar 7. Angka 6 menunjukkan tempat adanya kalsium oksalat (Toiusd, 2010).



PENUTUP
A. Kesimpulan
Kalsium oksalat berpengaruh terhadap jumlah komponen darah. Bayam mengandung zat besi yang tinggi yang mampu meningkatkan kadar hemoglobin, dan mempengaruhi kerja organ filtrasi seperti hepar dan ginjal karena adanya endapan kristal kalsium oksalat. Berdasarkan hasil praktikum, diketahui bahwa kadar eritrosit dan leukosit tidak meningkat, walaupun pemberian perlakuan bayam dilakukansecara kontinue. Kalsium oksalat dapat mengendap di hati dan jantung dalam bentuk kristal oksalat, misalnya berbentuk prisma, bintang, jarum, drusen, dan rafida.

B. Saran
Saran yang dapat diberikan adalah praktikan hendaknya memahami terlebih dahulu apa yang akan dipraktikumkan, sehingga praktikan dapat mengikuti jalannya praktikum dengan baik, dan praktikan juga lebih memahami apa yang telah dipraktikumkan.

DAFTAR PUSTAKA
Acker, 1971. Animal Science and Industry. Prentice Hall Eng Leawood Cliffs. New Jersey.
Ananto, T. 2010. http://eprints.undip.ac.id. Diakses tanggal 1 Juni 2010.
Axelsen, N. H. 1983. Handbook of Immunoprecipitation in Gel Techniques. Blackwell Scientific Publications. Australia.
Bruneton, J., 1999. Toxic Plants Dangerous to Humans and Animals. Lavoisier Publishing, Inc., Secaucus, NJ (ISBN 1-898298-62-9)
Chu, S.F., 1992. Recent Progress on Analytical Techniques for Mycotoxins in Feedstuffs. J. Anim. Sci. 70:3950-3963.
Dalimartha, S. 2003. Obat Tradisional Bayam. http://www.pd-persi.co.id. Diakses tanggal 2 Juni. 2010.
Depkes RI (1996) Direktur Jenderal Pembinaan Kesehatan masyarakat, Pedoman Operasional Penangguklangan Anemia Gizi di Indonesia, Jakarta
Dynamicaqua. 2010. http://www.dynamicaqua.com/microscope_files/01200150.jpg. Diakses tanggal 1 Juni 2010.
Elert, G.H. 2006. Human Anatomy and Physiology, Fifth Edition. Addison Wesley and Longman. San Francisco.
Hadioetomo, R.S. 1993. Mikrobiologi Dasar Dalam Praktek. Gramedia, Jakarta.
Isroi. 2010. http://www.isroi.wordpres.com. Diakses tanggal 2 Juni 2010.
Kotrla, T. 2009. Vacutainer Blood Collection System. http.//www. CollegeandUniversity.net. Tanggal akses 30 Juni 2010.
Murbawani, E. A. 2006. Anemia Defisiensi Besi, Kekurangan Zat Besi. http://www.suaramerdeka.com. Diakses tanggal 1 Juni 2010.
Noor, Z. 1992. Senyawa Anti Gizi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Pudjiadi, S. 1993. Ilmu Gizi Klinis, FK UI, Jakarta.
Rapidmethods. 2000. Haemocytometer count (Biocontrol Systems, Inc., Bellevue, WA, USA). http://www.rapidmethods.com/biocontrol2.html. Tanggal akses 15 Mei 2010.
Ruf, 2010. www.ruf.rice.edu. Diakses tanggal 15 Mei 2010.

Webb, M.A. 1999. Cell-Mediated Crystallization of Calcium Oxalate in Plants. Plant Cell

Reseptor Perasa

Faridatul Maghfiroh

Jurusan Biologi, fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,

Universitas Brawijaya

Malang, 2010

ABSTRAK

Reseptor perasa merupakan suatu indra pengecap yang dapat merasakan adanya suatu rasa pada makanan. Pada umumnya, rasa yang dapat dirasakan oleh reseptor pengecap antara lain adalah rasa manis, asam, asin, dan pahit, yang mana keempat rasa tersebut dapat dikatakan sebagai rasa primer. Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui lokasi pengecap pada manusia dan mengetahui variasi waktu sensasi. Praktikum ini diawali dengan pembersihan rongga mulut dengan air tawar (berkumur), kemudian cotton bud yang telah dicelupkan pada salah satu dari keempat bahan uji disentuhkan ke lidah bagian ujung, tepi depan, tepi samping (kiri dan kanan), tengah serta pangkal. Kemudian dicatat rasa yang dirasakan oleh lidah yang paling peka terhadap bahan uji tersebut. Langkah-langkah tersebut diulangi dengan bahan uji yang berbeda. Setelah semua bahan uji telah di ujicobakan pada masing-masing probandus, maka dihitung waktu sensasi, yang diawali dengan pembersihan rongga mulut (berkumur), kemudian permukaan lidah dikeringkan dengan tissue dan dipertahankan agar lidah tetap di luar mulut. Kemudian diletakkan sedikit gula pada bagian yang telah diketahui sensitif terhadap rasa tersebut. Kemudian dilakukan proses berkumur kembali, dan ditunggu selama 3 menit dan penghitungan waktu sensasi dilakukan dengan larutan asam sitrat, garam dapur, dan mexaquin. Hasil pengamatan reseptor perasa dapat disimpulkan bahwa seseorang yang tidak suka pedas, dan seseorang yang bukan perokok memiliki sensitifitas yang normal terhadap apa yang dirasakan oleh reseptor perasa. Namun, seorang perokok dan penyuka pedas, walaupun dapat merasakan apa yang dirasakan oleh reseptor perasa, dapat dikatakan perokok dan penyuka pedas tersebut memiliki gangguan pada reseptor perasa yang dimiliki, seperti data yang didapatkan.

Kata kunci: Bahan uji, gangguan, normal, reseptor perasa, waktu sensasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Analisa Prosedur

Praktikum ini diawali dengan pembersihan rongga mulut dengan air tawar (berkumur), hal ini dilakukan agar menetralisir sisa-sisa makanan atau sisa-sisa rasa suatu makanan sebelumnya, sehingga pengamatan yang dilakukan dengan berbagai macam rasa untuk mengetahui lokasi pengecap dan variasi waktu sensasi dapat dilakukan secara optimal. kemudian cotton bud yang telah dicelupkan pada salah satu dari keempat bahan uji disentuhkan ke lidah bagian ujung, tepi depan, tepi samping (kiri dan kanan), tengah serta pangkal. Hal tersebut dilakukan dengan menggunakan cotton bud agar mempermudah praktikan untuk meletakkan bahan-bahan uji pada titik-titik yang sensitif terhadap sensasi rasa. Kemudian dicatat rasa yang dirasakan oleh lidah yang paling peka terhadap bahan uji tersebut. Hal tersebut dilakukan agar praktikan dapat mengetahui perbandingan sensitivitas terhadap rasa oleh masing-masing probandus, misalnya pada perokok, bukan perokok, penyuka pedas, dan bukan penyuka pedas. Langkah-langkah tersebut diulangi dengan bahan uji yang berbeda. Hal tersebut dilakukan dengan beberapa variasi rasa, seperti gula, asam sitrat, garam dapur, dan pil kina, pada setiap probandus, agar dapat diketahui titik-titik reseptor perasa yang sensitif terhadap rasa manis, asin, asam, dan pahit.

Fungsi dari variasi probandus tersebut agar praktikan dapat mengetahui perbedaan suatu sensitifitas terhadap rasa-rasa tertentu pada masing-masing titik-titik reseptor perasa. kemudian dihitung waktu sensasi, penghitungan waktu sensasi diawali dengan pembersihan rongga mulut (berkumur), hal tersebut dilakukan agar bahan uji yang telah diuji cobakan sebelumnya dapat ternetralisir, sehingga tidak mengganggu percobaan dengan bahan uji lainnya, agar rasa yang dirasakan oleh reseptor pengecap lebih spesifik. kemudian permukaan lidah dikeringkan dengan tissue dan dipertahankan agar lidah tetap di luar mulut. Hal tersebut dilakukan, agar praktikan dapat membedakan sensitivitas terhadap rasa, ketika lidah dalam keadaan kering dan lidah pada keadaan basah. Menurut Amerongen (1991) saliva memiliki peranan yang sangat penting bagi sistem pencernaan, termasuk indera pengecap. Saliva pada umumnya mengandung protein, antara lain amilase, mukus, dan lisozim. Saliva digunakan untuk pencernaan karbohidrat di dalam mulut melalui kerja amilase dan saliva merupakan suatu enzim yang memecah polisakarida menjadi disakarida, selain itu, saliva juga mempermudah untuk menelan makanan dengan membasahi partikel-partikel makanan, sehingga partikel-partikel tersebut akan saling menyatu dan sebagai pelarut untuk molekul-molekul yang nantinya akan merangsang papil pengecap., karena hanya molekul dalam larutan yang dapat bereaksi dengan reseptor papil pengecap (Amerongen, 1991). Menurut Weiffenbach, dkk. (1986) bahwasanya, saliva sangat berpengaruh terhadap indra pengecap, dan saliva akan dikontrol oleh kelenjar ludah, karena cairan tersebut diproduksi oleh kelenjar ludah (Weiffenbach, dkk., 1986). Saliva yang dihasilkan oleh kelenjar ludah, berfungsi untuk melunakkan suatu zat makanan serta membantu dalam menelan makanan, yang mana Saliva mengandung enzim ptialin ( Kucera dan Kurca, 2008).

Kemudian diletakkan sedikit gula pada bagian yang telah diketahui sensitif terhadap rasa tersebut. Hal tersebut agar dapat diketahui sensitifitas titik-titik reseptor perasa tersebut terhadap rasa yang telah diketahui sensitif terhadap daerah tersebut. Kemudian dilakukan proses berkumur kembali dan ditunggu selama 3 menit, dan kemudian penghitungan waktu sensasi dilakukan dengan larutan asam sitrat, garam dapur, dan l kina. Bahan-bahan uji tersebut digunakan agar dapat diketahui, daerah-daerah yang sensitif terhadap bahan-bahan uji tersebut serta panjang waktu yang dibutuhkan oleh reseptor perasa untuk merasakan rasa dari bahan-bahan uji tersebut.

2. Analisis Hasil

2.1 Pengamatan Reseptor Perasa

Berdasarkan hasil pengamatan, dapat dilihat tabel berikut:

Probandus

Reseptor Perasa

Letak reseptor Pengecap

Ujung Lidah

Tepi Depan Lidah

Tepi Belakang Lidah

Pangkal Lidah

Perokok (Laki-laki)

Manis

Asam

Asin

Pahit

Bukan Perokok (Laki-laki)

Manis

Asam

Asin

Pahit

Penyuka Pedas (Wanita)

Manis

Asam

Asin

Pahit

Tidak Suka Pedas (Wanita)

Manis

Asam

Asin

Pahit

Dari hasil tersebut, dapat disimpulkan, bahwasanya seorang perokok dan seorang penyuka pedas kurang sensitif atau dapat dikatakan memiliki reseptor perasa yang kurang normal. Dari data tersebut, dapat dilihat, bahwasanya, seorang perokok, merasakan asam pada ujung lidah, yang mana sebenarnya, jika pada seseorang yang memiliki reseptor perasa normal, maka orang tersebut akan merasakan rasa asam pada tepi lidah bagian belakang. Dari data tersebut juga dapat dilihat, seorang penyuka pedas tidak dapat merasakan rasa asam pada tepi lidah bagian belakang, namun penyuka pedas tersebut merasakan asam pada tepi lidah bagian depan, yang sebenarnya titik tersebut merupakan titik reseptor perasa yang sensitif terhadap rasa asin.

Lidah memiliki lapisan mukosa yang mana lapisan tersebut menutupi bagian atas lidah, permukaan lidah tidak rata dikarenakan terdapat tonjolan-tonjolan yang dikenal dengan papilla, pada papilla ini terdapat reseptor yang dapat membedakan rasa makanan. Jika pada bagian lidah tersebut tidak terdapat papilla lidah, maka lidah akan menjadi tidak sensitif terhadap macam-macam rasa (Lynch, 1994; Ganong, 1998; Budi, 2004).

Reseptor perasa dapat dikatakan sebagai taste bud yang mana bagian ini terdapat pada bagian lidah. Taste bud dapat memberikan memberikan rasa asam, manis, asin, dan pahit pada bagian-bagian yang spesifik, yang terdapat pada lidah, akan tetapi rasa-rasa ini memiliki kesamaan struktur. Reseptor perasa atau pengecap ini tersusun atas sejumlah sel-sel epitelium yang nantinya dapat menerima suatu sinyal atau stimulus suatu zat yang menimbulkan rasa, melalui celah pori reseptor pengecap tersebut(Kinley dan Mary, 2001).

Berikut merupakan gambar letak dari macam-macam rasa pada reseptor pengecap.

Gambar 1. Lokasi Reseptor Perasa (Ameronge, 2002)

Manusia memiliki kepekaan terhadap empat rasa, diantaranya adalah manis, asin, asam, dan pahit. Dari keempat rasa tersebut, masing-masing memiliki daerah sensitifitas masing-masing. Diantaranya, manis memiliki daerah sensitifitas pada ujung lidah, asin terletak pada pangkal lidah bagian depan, asam memiliki sensitifitas pada daerah sepanjang tepi, dan rasa pahit, sensitif terhadap reseptor pengecap bagian pangkal lidah. Ada pendapat yang mengatakan bahwasanya rasa muncul pertama kali karena adanya bau, yang merangsang saraf pusat untuk menerima rangsangan tersebut. Sehingga ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwasanya rasa sebenarnya adalah bau (Pearce dan Evelin, 2005).

Indra pengecap mempunyai suatu reseptor yang peka terhadap rangsangan kimia, ketika lidah tersebut dalam keadaan normal. Lidah tersusun dari otot yang mana pada permukaan lidah tersebut dilapisi oleh suatu lapisan epithelium yang memiliki atau banyak mengandung kelenjar lender dan reseptor pengecap berupa tunas pengecap. Permukaan atas lidah memiliki tonjolan-tonjolan yang disebut dengan papila. Tonjolan tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga macam bentuk, yaitu berbentuk benang, berbentuk dataran yang dikelilingi parit-parit, dan berbentuk jamur (Fox, 2004).

Tunas pengecap terdapat pada parit-parit papila bentuk dataran, di bagian samping dari papila berbentuk jamur, dan di permukaan papila berbentuk benang. Pada lidah terdapat bintil-bintil yang mengandung ujung saraf sebagai reseptor. Bagian-bagian lidah yang mengandung reseptor adalah diantaranya adalah ujung lidah yang peka terhadap rasa manis, tepi samping dan depan peka terhadap rasa asin, dan tepi samping peka terhadap rasa asam, serta pangkal lidah peka terhadap rasa pahit. Mekanisme kerja reseptor pengecap adalah dimulai dengan adanya zat kimia dalam bentuk larutan yang sampai ke puting pengecap di lidah, yang menyebabkan terjadinya depolarisasi yaitu masuknya Na+ dan keluarnya K+ dari sel reseptor. Depolarisasi berlanjut menyebabkan terbentuknya potensial aksi yang dihantarkan oleh saraf sensoris dalam bentuk impuls listrik ke otak untuk diolah sehingga timbul sensasi rasa (Fox, 2004). Suatu rangsang yang diterima oleh indra pengecap berupa zat kimia akan diterima oleh reseptor pengecap yang disebut papilla. Papilla tersebut memiliki bulu-bulu saraf (gustatiry hair) yang berfungsi untuk menghantarkan impuls ke saraf pusat(Campbell dkk, 2005).

Gambar 2. Lokasi Papilla (belajarsabar, 2009).

2.2 Variasi Waktu Sensasi Perasa

Gambar 1. Variasi Sensasi Perasa

Berdasarkan grafik diatas, dapat dilihat bahwasanya Perokok memiliki kemampuan untuk merasakan lebih lamban dibandingkan seseorang yang bukan perokok. Hal ini disebabkan karena papilla pada lidah mengalami penurunan sensitivitas terhadap kepekaan rasa. Dari grafik tersebut, bahan uji yang mengalami waktu sensasi lebih cepat adalah asam sitrat, dikarenakan asam sitrat mudah terikat dengan molekul-molekul yang terkandung dalam saliva. Sedangkan rasa pahit dan asin dengan perlakuan kering lebih lambat dibandingkan waktu yang dibutuhkan untuk uji coba pada keadaan basah. Hal ini terjadi karena ketika kering zat-zat kimia yang masuk tidak dapat berikatan dengan molekul saliva, sehingga zat tersebut sulit untuk dirasakan.

Sel reseptor pengecap merupakan sel epitel yang termodifikasi menjadi bentuk yang memiliki banyak lipatan permukaan atau mikrovili, dan sedikit menonjol melalui pori-pori pengecap untuk meningkatkan luas permukaan sel yang terpajan dalam mulut. Membran plasma mikrovili mengandung reseptor yang berikatan secara selektif dengan molekul zat kimia, karena hanya zat padat yang terlarut dalam saliva atau cairan lain yang dapat berikatan dengan sel reseptor(Amerongen, 1991). Papilla pengecap dikontrol oleh 50 serat saraf dan setiap serat saraf menerima masukan dari rata-rata 5 papilla pengecap. Papilla circumvalata yang lebih besar masing-masing mengandung sampai 100 papilla pengecap, papilla ini terletak di sisi papilla (Diah Savitri,1997; Ganong, 1998).

Macam macam kelainan pada lidah diantaranya adalah Magroglosia yang mana memiliki ukuran lidah lebih besar dari pada ukuran normal, biasanya congenital; ancyloglosia yang mana terjadi gangguan gerakan dan bicara; Fissure Tongue, dimana pada hal ini terdapat pada anak-anak; Coated Tongue dimana pada hal ini ditandai dengan adanya lapisan putih tipis oleh karena ada sisa makanan dan mikroorganisme; White Hairy Tongue, dalam hal ini ditandai dengan terjadi pembesaran papilla filiformis dan adanya desquamasi papilla filiformis; Black Hairy Tongue ditandai dengan pemanjangan papilla filiformis pada 1/3 panjang lidah; dll. (Finn, 2003).

DAFTAR PUSTAKA

Amerongen A.V.N. 2002. Ludah dan Kelenjar Ludah. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Amerongen, AVN, 1991. Ludah dan Kelenjar Ludah: Arti bagi Kesehatan Gigi. Xerostomia Sindroma Mulut Kering. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Belajarsabar, 2009.Tongue. http://belajarsabar.files.wordpress.com/2009/04/tongue1.jpg. Diakses 27 Maret 2010.

Budi Riyanto Wreksoatmodjo. 2004. Aspek Neurologik Gangguan Rasa

Pengecapan. Majalah Kedokteran Atma Jaya.

Campbell N., Jane B., Lawrence G. 2005. Biology, Fifth Edition. Addison Wesley Longman,Inc.

Diah Savitri Ernawati. 1997. Kelainan Jaringan Lunak Rongga Mulut

Akibat Proses Menua. Majalah Kedokteran Gigi (Dental Jurnal).

3(3).

Finn, S.B., 2003, Clinical Pedodontics, 4th Ed, W.B Saunders. Co.,
Philadelphia.

Fox S.I. 2004. Human Physiology eight edition. McGraw-Hill. New York

Ganong W.F. 2003. Review of Medical Physiology Eleventh Eddition. Lange Medical Publications. California

Kinley B.G, dan Mary J.S. 2001. Human Anatomy and Fisiologi. W.B Saunders Company. London.

Kucera P., and Kurca E. 2008. Sympathethic Lips response : review of the method and its clinical use. Bratisl Lek Listy; 105 (3): 108-116.

Lynch MA, Brightman VJ, Greenberg MS. 1994. Ilmu Penyakit Mulut:

Diagnosis dan Terapi. Alih bahasa: Sianita K. Jilid 1. Ed. ke-8. Percetakan Binarupa Aksara. Jakarta.

Pearce dan Evelyn C. 2005. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Gramedia. Jakarta.

Weiffenbach, J. M., Philip C. F., dan Bruce J. B. 1986. Taste and Salivary Fungtion. Proc. Natl. Acad. USA. 6103 (83).